Connect with us

News

Menakar Ulang Peran dan Kompetensi Bidan

Menakar Ulang Peran dan Kompetensi Bidan

[ad_1]

dr. Hardisman, MHID, PhD

Oleh: dr. Hardisman, MHID, PhD

Hari ini, tanggal 24 Juni adalah “Hari Bidan Sedunia” yang diperingati setiap tahunnnya sebagai pengakuan atas peran bidan dalam upaya kesehatan ibu dan anak. Di seluruh dunia, upaya pelayanan kesehatan dalam pemantauan kehamilan (antenatal care), persalinan, dan kontrol pasca melahirkan (postnatal care) sebahagian besarnya dilakukan oleh bidan. Di Indonesia, Kementerian Kesehatan (Kemenkes) dan United Nation for Children Fund (Unicef) menyebutkan bahwa mencapai 62 hingga 65% persalinan ditolong oleh bidan.

Peran Strategis Bidan

Sebagai upaya peningkatan agar pemantauan kehamilan dan persalinan ditangani oleh tenaga kesehatan, pemerintah mengupayakan peningkatan peran bidan sebagai pelayan terdepan. Kemenkes, dengan koordinasi dibawah Dinas Kesehatan Kabupaten Kota meningkatkan ketersediaan bidan sampai pada daerah terpencil dan terluar melui bidan PTT dan bidan desa.

Secara medis, hamil adalah proses fisiologis (normal) dan sebahagian besar persalinan juga dalam kedaaan fisiologis. Sehingga pertolongan persalinan di layanan primer oleh bidan dapat dilakukan tanpa memerlukan alat kesehatan canggih. Peran bidan adalah membantu proses persalinan tersebut agar dapat berlangsung dengan baik dan aman. Bidan berperan sejak pemantauan kehamilan hingga dalam proses persalinan tersebut, sehingga jika terdapat tanda-tanda yang tidak memungkinkan melahirkan normal atau kehamilan beresiko, dapat dirujuk ke Rumah Sakit lebih dini tanpa menunggu bahaya mengancam. Inilah peran bidan sesuai dengan komptensi keilmuan dan kewenangan yang telah diberikan.

Peningkatan peran bidan tidak dapat dipisahkan dari jumlah, distribusi, dan kompetensi bidan yang akan melayani. Saat ini ada 250 ribu lebih bidan di Indonesia. Artinya, berdasarkan rasio dari jumlah penduduk dan jumlah pasangan usia subur di Indonesia, jumlah bidan yang ada sekarang sudah sudah dinilai berlebih.

Kemenkes dalam Infodatin tahun 2014 tentang bidan dan Profil Kesehatan Indonesia 2016 menyebutkan bahwa dari total lebih 250 ribu bidan, 163 ribuan bekerja pada Dinas Kesehatan yang 120 ribu diantaranya berada di Puskesmas. Jumlah ini melebihi kebutuhan. Berdasarkan beban kerja dan regulasi tentang penyusunan perencanaan SDM kesehatan, dari seluruh Puskesmas, rata-rata secara nasional terdapat 76,9% Puskesmas kelebihan jumlah bidan. Bahkan kelebihan bidan ini di beberapa daerah sudah terjadi hampir di setiap puskesmas, misalnya di Jawa Timur sudah 95,5% Puskesmas kelebihan bidan, Jambi (94,9%), Aceh (94,6%) dan di Sumatera Barat (94,2%).

Berdasarkan data-data tersebut seharusnya, layanan kehamilan dan persalinan di layanan primer dapat dilakukan dengan optimal. Seharusnya layanan yang baik itu juga dibuktikan dengan indikator-indikator kesehatan ibu dan anak yang baik. Namun kenyataannya, Angka Kematian Ibu (AKI) dan Angka Kematian Bayi (AKB) yang merupakan indikator kesehatan negara, dan sekaligus menjadi cerminan peranan bidan tidaklah semakin baik. Contohnya, pada Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) tahun 2013, AKI dilaporkan 359/100.000 kelahiran hidup yang justru semakin memburuk periode sebelumnya. Terlepas dari perdebatan metodologis dan aspek lainnya, itulah fakta pahit yang mesti ditelan. Tahun 2015 dilakukan penilaian ulang dalam Survei Penduduk Antar Sensus, tetap mendapatkan AKI yang tinggi, yaitu 305/100.000 kelahiran hidup.

Berbagai laporan resmi pemerintah dan penelitian-penelitian lainnya juga mengindikasikan belum optimalnya peran bidan sebagai “screening” awal dalam pemantauan kehamilan dan persalinan. Kasus-kasus yang dirujuk ke RS sering mengalami keterlambatan. Hal ini dibuktikan dengan lebih dari 40% kematian ibu yang terjadi di RS berasal dari rujukan bidan dan puskesmas. Tentunya, ada faktor lain yang juga berperan dalam hal ini, seperti aspek psikososial dan budaya masyarakat, namun adanya faktor peranan bidan sebagai pemberi layanan tidak dapat dinafikan.

Kompetensi dan Pendidikan

Salah satu yang sering diperbincangkan adalah tidak sejalannya peningkatan jumlah bidan dengan peningkatan kompetensi bidan yang dihasilkan. Hal ini dapat dilihat dengan jumlah pengalaman klinis mahasiswa kebidanan selama masa pendidikannya.

Hingga akhir tahun 2016, sebagaimana data di Ikatan Bidan Indonesia (IBI), Kemenkes dan Kemenristekdikti, terdapat 726 Akademi Kebidanan dan Program Studi DIII Kebidanan pada berbagai Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan (STIKES) di Indonesia. Berdasarkan aturan yang ditetapkan, setiap institusi Pendidikan tersebut dapat menerima peserta Didik 40, 100, atau 120 mahasiswa pertahun sesuai dengan tingkatan akreditasinya. Pada kenyataannya, banyak diantara institusi tersebut yang menerima mahasiswa melebihi kapasistas yang direkomendasikan. Bila rata-rata dalam sepuluh tahun terakhir setiap institusi menerima dan meluluskan bidan 50 orang (minimal) bidan pertahun, maka dalam setahun terjadi penambahan bidan 36.000 lebih, dengan pengecualian dua tahun terakhir.

Jumlah lulusan yang sebanyak ini membutuhkan pengalaman praktek klinis dalam melakukan pemeriksaan kehamilan dan pertolongan persalinan. Panduan pendidikan profesi bidan menyebutkan bahwa setiap bidan yang lulus harus pernah melakukan pertolongan persalinan minimal 50 kali. Artinya, Kompetensi lulusan bidan kita hanya bisa dicapai bila ada 2 juta persalinan yang dapat diikutkan mahasiswa Kebidanan menolongnya.

Sedangkan berdasarkan catatan Badan Pusat Statistik (BPS), angka kelahiran atau di Indonesia berkisar 1.42-1,49%/ tahun atau dengan pertambahan penduduk 3,5-3,8 juta jiwa pertahun. Estimasi maksimal dari semua persalinan tersebut, yang dapat terlibat mahasiswa kebidanan hanya berkisar 10-15%, atau 350.000-550.000 persalinan. Artinya, seorang lulusan Kebidanan hanya dapat maksimal mendapatkan pengalaman klinis menolong persalinan 15 persalinan. Dengan perhitungan lain, 350.000-550.000 tersebut hanya dapat tersedia untuk meluluskan bidan 7.000-11.000 saja, atau sepertiga dari jumlah lulusan bidan selama sepuluh tahun terakhir. Sedangkan lebih dari dua pertiga bidan mencapai kompetensi yang diharapkan.

Kurangnya pencapaian komptensi lulusan bidan baru dirasakan oleh Dinas Kesehatan sebagai pihak pengguna. Asuhan Persalinan Normal (APN) yang seharusnya menjadi komptensi dasar bagi bidan dan seharusnya didapatkan dalam pendidikannya, tidak dikuasai oleh para bidan tersebut, yang terlihat dari pemantauan kinerjanya di lapangan. Sehingga, Dinas Kesehatan Provinsi dan Kabupaten/Kota harus lagi memberikan pelatihan tambahan para bidan, yang kadang dimulai dari pelatihan-pelatihan dasar.

Kurangnya kompetensi bidan juga terlihat dari kurangnya aspek keamanan (safety) layanan. Dr. Nina Helina (Bidan) dalam penelitian pendahuluan disertasinya, dalam menyelesaikan Pendidikan S3 (Doktor) di FK-Unand, menyebutkan bahwa budaya “patient safety” belum terbentuk bagi bidan. Sehingga, tidak jarang terjadi kesalahan-kesalahan kecil yang beresiko dalam tindakan persalinan.

Apa yang Bisa Kita Lakukan

Berbagai upaya harus dilakukan untuk optimalisasi peran bidan, peningkatan kesehatan ibu dan anak, layanan pemeriksaan kehamilan yang berkualitas dan persalinan yang aman. Pertama, dari 120.000 lebih bidan yang bekerja di Puskesmas harus ditingkatkan kompetensi klinis, pemahaman budaya “patient safety” dan sofskill-nya dengan pelatihan berkala. Sehingga diharapkan dapat meningkatkan layanan yang berkualitas dan cakupan layanan layanan persalinan oleh tenaga kesehatan.

Kedua, distribusi penempatan yang mesti ditingkatkan. Meskipun secara rata-rata sudah terjadi kelebihan bidan di setiap Puskesmas, namun masih terjadi kekurangan bidan pada beberapa daerah seperti Papua, Papua Barat, Maluku dan Maluku Utara. Bakan distribusi dalam satu provinsi juga tidak merata, misalnya meskipun secara umum Puskesmas di Sumbar telah kelebihan bidan, namun masih ada 4% diantaranya yang kekurangan.

Juga, secara nasional masih terdapat sekitar 17% persalinan yang masih belum ditangani oleh tenaga kesehatan. Penjangkauan ini hanya bisa dilakukan dengan pemerataan distribusi bidan, bersamaan dengan peningkatan “softskill” mereka dalam melakukan promosi dan advokasi.

Ketiga, optimalisasi implementasi kurikulum dan pengalaman klinis mahasiswa dalam masa pendidikan. Setiap institusi Pendidikan Kebidanan mesti menyadari peran dan tanggungjawabnya untuk melahirkan bidan professional yang berkualitas, sehingga ia akan memperhatikan dengan sangat cermat rasio kecukupan sarana dan prasarana pendidikan dengan jumlah mahasiswanya.

Keempat, terkait poin ketiga, peningkatan komptensi lulusan tidak hanya dapat dilakukan dengan mengadakan ujian kompetensi lulusan baru, namun harus dilakukan upaya yang mendasar dan sistemik. Kemenristekdikti yang berwenang terhadap pengaturan Pendidikan Tinggi berkoordinasi dengan Kemenkes harus memantau dengan ketat terhadap jumlah penerimaan mahasiswa kebidanan. Kementerian semestinya tidak mengizinkan pembukaan Program Studi Kebidanan baru. Bahkan, bila diperlukan perlu melakukan penutupan program studi yang sudah berjalan.

Kelima, Ikatan Bidan Indonesia (IBI) harus dapat mengambil peran dalam advokasi dalam pendidikan dan pembinaan lulusan bidan. Bersama Kementerian terkait, IBI harus aktif mencarikan solusi bagi para lulusan bidan yang hingga hari ini tidak mendapatkan pekerjaan yang layak. (*)

*/ Penulis adalah Dosen Pascasarjana Ilmu Kedokteran, Kesmas & Kebidanan, Fakultas Kedokteran Universitas Andalas (FK-Unand), Padang. Email: [email protected].

Editor/Sumber: Reza s.

JAKARTA – Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin bertemu dengan Asal bin Yanto Albanjari, pria yang sempat ramai dibahas…

PADANG PANJANG – Jajaran Kodim 0307/Tanah Datar membagi-bagikan takjil (makanan berbuka puasa) kepada pengguna jalan…

PADANG PARIAMAN – Lebaran tinggal menghitung hari Anggota Kodim (Komando Distrik Militer) 0308 Pariaman l menggelar…

PADANG – Pemko Padang berkomitmen merealisasikan perencanaan pemukiman kota baru, sesuai arahan Rencana Pembangunan…

TANAH DATAR – Seorang pria berinisial MH (48) warga Jorong Situgar, Nagari Tanjung Bonai, Kecamatan Lintau Buo Utara,…



[ad_2]

Sumber

Baca Selengkapnya
Click to comment

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Berita

Pemborosan dalam Reformasi Birokrasi – Fadli Zon

Fadli Zon Usul Provinsi Sumbar Ganti Nama Jadi Minangkabau

[ad_1]

Wakil Ketua Umum Partai Gerindra Fadli Zon menilai keputusan Presiden Jokowi yang menetapkan regulasi terkait sejumlah posisi wakil menteri aneh. Termasuk dengan hadirnya Perpres Nomor 62 Tahun 2021 yang mengatur soal Wamendikbudristek.

Fadli menilai upaya yang dilakukan Jokowi termasuk pemborosan. Apalagi jika regulasi tersebut demi mengakomodir pihak-pihak tertentu untuk mendapatkan jabatan.

“Kalau menurut saya agak aneh, ya. Banyak sekali wakil-wakil menteri padahal wakil-wakil menteri itu, kan, mestinya dibatasi hanya memang kementerian yang membutuhkan saja,” kata Fadli, Senin (2/8).

“Jumlah menteri, kan, sudah dibatasi dengan UU yaitu 34 menteri. Jadi wakil menteri itu, ya, bukan menteri. Jadi, ya, kalau menurut saya ini pemborosan di dalam perbaikan institusi kita atau reformasi birokrasi kita terlalu banyak,” tambahnya.

Dia lantas menyinggung soal keinginan Jokowi untuk melakukan perampingan birokrasi. Sehingga hadirnya regulasi yang mengatur soal posisi wakil menteri ini malah semakin tak konsisten.

“Dulu, kan, Pak Jokowi ingin ada perampingan, tapi ini semakin melebar. Ada wamen, ada stafsus, dan segala macam gitu, ya. Ini menurut saya jelas pemborosan uang negara. Kalau menurut saya ini lebih banyak pada akomodasi politik gitu, ya,” katanya.

Sejauh ini, posisi wamen di sejumlah kementerian dianggap tak perlu. Sebab ada pejabat eselon yang bisa membantu tugas-tugas seorang menteri.

“Ada menurut saya, kan, ada dirjen, ada direktur, dan sebagainya. Perangkat begitu besar jadi mestinya bagaimana institusi ini dibuat benar gitu, dibuat rapi, dan benar,” ujarnya.

Bagi Fadli, keputusan untuk mengakomodir pihak-pihak tertentu untuk mendapatkan jabatan bisa merusak birokrasi yang ada di Indonesia.

“Itulah kesan yang muncul di masyarakat dan itu menurut saya akan merusak birokrasi, merusak reformasi birokrasi, merusak tatanan yang sudah ada,” pungkasnya.

Saat ini sudah ada 14 wamen yang ada di kementerian Jokowi. Sementara itu, Jokowi sudah meneken perpres yang memutuskan ada wamen di 5 kementerian lain. Tapi, hingga saat ini, posisi wamen di 5 kementerian itu belum diisi.

Sumber

[ad_2]

Sumber

Baca Selengkapnya

Berita

Kita Tunggu Sampai Sore! – Fadli Zon

Sumbangan Rp 2T Akidio Tio Muara Kebohongan? Fadli Zon: Kita Tunggu Sampai Sore!

[ad_1]

Nama Akidi Tio belakangan menjadi topik perbincangan hangat masyarakat Republik Indonesia usai keluarga besar dan ahli warisnya mengklaim akan menyumbangkan dana senilai Rp 2 Triliun untuk membantu warga yang terdampak Covid-19 dan Pemberlakukan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM).

Pada awal isu tersebut berkembang, banyak tanggapan positif dari masyarakat mengingat nilai yang akan disumbangkan cukup fantastis. Namun belakangan, sejumlah pihak termasuk politisi Fadli Zon menduga dan menilai jika kabar tersebut hanya isapan jempol

Melansir akun twitter pribadinya @Fadlizon, politisi Partai Gerindra itu memposting sebuah unggahan yang isinya merujuk pada artikel Kompas dengan judul ‘Akidi Tio, Rp 2 Triliun, dan Pelecehan Akal Sehat Para Pejabat’ disertai caption yang cukup menohok.

“Hari masih pagi, mari kita tunggu sampai Senin sore nanti apakah masuk sumbangan Rp 2T. Kalau masuk berarti ini semacam mukjizat. Kalau ternyata bohong, bisa dikenakan pasal-pasal di UU No.1 tahun 1946,” cuit Fadli Zon, Senin (2/8/2021).

Keraguan Fadli akan kabar tersebut bukan tanpa alasan. Pasalnya, dari sumber artikel yang ditulis oleh Hamid Awaluddin yang Fadli cantumkan dalam cuitannya, disebutkan bahwa sosok Akidi Tio tidak memiliki jejak yang jelas sebagai seorang pengusaha.

Bahkan dalam sejumlah isu sebelumnya, terkait dugaan harta, janji investasi, dan bualan sumbangan menghebohkan dalam tulisan mantan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia dan Duta Besar Indonesia untuk Rusia dan Belarusia tersebut, seluruhnya bermuara pada kebohongan.

Suarapakar.com - Sumbangan Rp 2T Akidi Tio

Meski tulisan artikel itu masih sebatas opini, namun sangat layak dipertanyakan apakah Akidi Tio memang memiliki kekayaan fantastis sebanyak itu sehingga mampu menyumbangkan dana senilai Rp 2 Triliun untuk bantuan PPKM?

Senada namun tak sama dengan Fadli Zon, Menkopolhukam Mahfud MD meeminta semua pihak untuk menanggapi kabar tersebut dengan positif dan berharap dapat terealisasi.

“Ini perspektif dari Hamid Awaluddin ttg sumbangan Rp 2 T dari Akidi Tio. Bagus, agar kita tunggu realisasinya dgn rasional,” tulis Mahfud di Twitter, Senin (2/8/2021).

Namun demikian, ia juga memberikan pengakuan jika sebelumnya pernah membuat tulisan terkait pihak yang meminta fasilitas dari Negara untuk mencari harta karun yang nantinya akan disumbangkan kembali ke Negara. Adapun pada faktanya, kabar tersebut tak dapat di validasi.

“Sy jg prnh menulis ada orng2 yg minta difasilitasi utk menggali harta karun dll yg akan disumbangkan ke negara. Tp tak bs divalidasi,” beber Mahfud lagi.

Sebelumnya, keluarga dan ahli waris Akidi Tio disebutkan akan menyumbang Rp 2 triliun untuk penanganan COVID. Sumbangan itu sendiri telah diterima secara simbolis oleh Kapolda Sumatera Selatan, Irjen Pol Eko Indra Heri pada Senin (26/7/2021).

Kabarnya uang sumbangan senilai Rp 2 Triliun itu akan masuk pada Senin (2/8/2021). Namun hingga berita ini diturunkan, belum ada klarifikasi baik dari Polda Sumsel maupun pihak keluarga Akidi Tio.

Sumber

[ad_2]

Sumber

Baca Selengkapnya

Berita

Fadli Zon Koreksi Baliho Puan Maharani, Disebut Tidak Sesuai dengan KBBI – Fadli Zon

Fadli Zon Koreksi Baliho Puan Maharani, Disebut Tidak Sesuai dengan KBBI

[ad_1]

Politikus Partai Gerindra Fadli Zon memberikan koreksi terhadap baliho Ketua DPR RI Puan Maharani yang bertebaran di berbagai penjuru Indonesia.

Fadli mengoreksi penulisan diksi yang terdapat dalam narasi di baliho Puan yang menurutnya terdapat kesalahan.

“Mari gunakan bahasa Indonesia yg baik dan benar apalagi dlm bentuk baliho besar yg terpampang ke seantero negeri,” kata Fadli dalam cuitan di Twitter, Senin, 2 Agustus 2021.

Adapun Fadli memberikan koreksi terhadap penulisan kata ‘kebhinnekaan’ yang menurutnya tidak sesuai dengan Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI).

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) yg benar itu ‘kebinekaan’ bukan ‘kebhinnekaan’. Tapi kelihatannya semua baliho sdh dipajang. Sekedar koreksi,” tulis Fadli.

Lebih lanjut ia menjelaskan makna dari ‘Kebinekaan’ sesuai dengan koreksinya terhadap baliho Puan Maharani.

“‘Kebinekaan’ artinya keberagaman, berbeda-beda. Harusnya bukan keberagaman (perbedaan) yg ditonjolkan, tp persatuan dlm keberagaman itu,” lanjutnya.

“Unity in diversity, ‘Bhinneka Tunggal Ika’ dlm serat ‘Kakawin Sutasoma’ karya Mpu Tantular. Jd jgn kita kepakkan sayap perbedaan, tapi persatuan.” jelasnya.

Seperti diketahui, baliho-baliho raksasa Puan Maharani bertebaran di berbagai penjuru Indonesia beberapa waktu belakangan dan kini semakin bertambah jumlahnya.

Berkaitan itu, pihak PDIP sebelumnya sudah mengungkapkan alasan baliho dan billboard Puan dipasang di berbagai tempat di Indonesia.

Menurut Anggota DPR RI Fraksi PDIP, Hendrawan mengatakan bahwa pemasangan baliho Puan adalah bentuk kegembiraan karena putri Megawati Soekarnoputri itu adalah perempuan pertama yang memimpin DPR.

“Ini ekspresi kegembiraan karena Mbak PM (Puan Maharani) adalah perempuan pertama Ketua DPR dari 23 ketua DPR dalam sejarah RI. Tagline-nya macam-macam. Ada yang berkaitan dengan imbauan perkuatan gotong royong menghadapi pandemi, penguatan semangat kebangsaan, dan dorongan optimisme menghadapi masa depan,” ujar Hendrawan.

Sumber

[ad_2]

Sumber

Baca Selengkapnya

Populer