Connect with us

News

Mewaspadai politik uang di pilkada serentak Sumbar

Mewaspadai politik uang di pilkada serentak Sumbar

[ad_1]

Padang, (Antaranews Sumbar) – Pelaksanaan pilkada serentak di empat kota di Sumatera Barat masih dibayang-bayangi praktik politik uang. Jika hal ini sampai terjadi, mencederai nilai-nilai demokrasi.

Berdasarkan survei Sumatera Barat Leadership Forum (SBLF) pada bulan Juni 2018, potensi terjadinya politik uang pada pilkada di Padang, Sawahlunto, Pariaman, dan Padang Panjang relatif cukup tinggi karena terungkap hampir separuh masyarakat bersedia menerima pemberian dari kandidat.

Di Padang Panjang, sebanyak 47 persen dari 500 responden menyatakan akan menerimanya jika kandidat memberikan uang atau bingkisan kepada mereka. Namun, dari 47 persen tersebut, hanya dua persen yang menyatakan akan memilih kandidat pemberi uang.

Sebaliknya, sebanyak 45 persen responden yang menyatakan menerima pemberian tetapi akan memilih sesuai dengan hati nurani.

Sebanyak 46 persen responden menyatakan tidak akan menerima politik uang dan tidak memilih kandidat tersebut.

Sementara di Padang, dari 800 responden, sebanyak 48 persen di antaranya menyatakan akan menerima pemberian dari calon. Akan tetapi, sebanyak 38 persen di antaranya menyatakan menerima namun tidak akan memilih pemberi politik uang. Sementara itu, 10 persen lainnya mengakui akan memilih kandidat yang memberikan uang.

Masyarakat yang menolak politik uang di Padang sekitar 47 persen, dan sebanyak 37 persen di antaranya menyatakan tidak akan memilih calon yang melakukan politik uang.

Hasil survei di Kota Pariaman menyebutkan sebanyak 46 persen dari 500 responden menyatakan menerima pemberian dari kandidat. Namun, hanya 7 persen yang bersikap menerima lalu memilih, sedangkan 39 persen lainnya menyatakan walaupun menerima akan tetap mencoblos sesuai dengan hati nurani.

Selanjutnya, di Sawahlunto, sebanyak 54 persen dari 800 responden bersedia menerima uang atau hadiah dari calon. Sebanyak 33 persen di antaranya menolak.

Dari 54 persen yang menerima tersebut, 7 persen menyatakan terima dan pilih, sedangkan 47 persen lainnya kendati sudah menerima akan tetap memilih sesuai dengan hati nurani.

Menurut Direktur Eksekutif Sumatera Barat Leadership Forum Riset dan Konsultan Edo Andrefson, segmen pemilih yang mau menerima uang tersebut adalah mereka yang berstatus menengah ke bawah dari sisi ekonomi dan pendidikan.

“Biasanya bermukim di pinggiran dan karakter masyarakatnya homogen,” katanya.

Ia menilai politik uang tersebut ibarat hantu tak tampak tetapi terasa. Kendati sudah ada aturan dan pengawasan, masih mungkin bisa dilakukan oleh kandidat.

Politik uang ini, menurut dia, amat mungkin dilakukan oleh calon yang memiliki modal besar, atau mereka yang elektabilitasnya masih rendah, lalu ingin unggul.

Salah satu modus politik yang tersebut berupa pembentukan sukarelawan dalam jumlah besar, kemudian mereka diberi uang saku relatif cukup besar untuk operasional.

Bisa pula berupa pemberian bingkisan di luar batas aturan KPU dalam aksi sosial.

Dari temuan tersebut, Bawaslu harus lebih proaktif mencegah politik yang dengan menggelar sosialisasi secara masif soal antipolitik uang.

Pengamat Politik Universitas Andalas Dr. Asrinaldi menilai politik uang terjadi karena para elite minim gagasan saat mencalonkan diri sehingga satu-satunya yang bisa mereka tawarkan kepada masyarakat selaku pemilih adalah uang.

“Seharusnya `kan calon itu menawarkan gagasan dan program. Karena tidak mampu, uang akhirnya yang dibagikan,” katanya.

Karena fenomena itu kerap terjadi, akhirnya masyarakat pun terbiasa dengan politik uang. Begitu ada calon kepala daerah yang datang, mereka pun bukan menanyakan program, melainkan meminta uang.

“Artinya, lagi-lagi partai politik harus memperbaiki hal ini dengan tidak terus-menerus membiarkan hal itu terjadi dan mendidik masyarakat menjadi pemilih yang lebih rasional,” katanya.

Laporkan

Pengamat Hukum Universitas Bung Hatta Padang Miko Kamal, Ph.D. menyatakan bahwa politik uang adalah perbuatan melawan hukum yang merupakan musuh bersama.

“Perbuatan busuk itu dapat menggergaji hak masyarakat untuk mendapatkan pemimpin yang berkualitas dan amanah,” katanya.

Ia mengajak masyarakat melawan semua bentuk politik uang dengan melaporkan pelaku kepada pihak yang berwenang.

Sejalan dengan itu, Panitia Pengawas (Panswas) Pilkada Kota Padang menyatakan bahwa pihak yang memberi maupun menerima politik uang dalam pilkada dapat dipidana penjara selama 72 bulan dan denda Rp1 miliar jika terbukti bersalah di pengadilan.

“Politik uang itu merusak demokrasi. Oleh karena itu, jangan main-main sebab aturannya sudah tegas,” kata Ketua Panwas Pilkada Kota Padang Dorri Putra.

Menurut dia, mengantisipasi terjadinya politik uang Panwas Ko0ta Padang menggelar sosialisasi intensif kepada masyarakat.

“Semua pihak harus bersama-sama mengawasi. Kalau ada calon yang mencoba melakukan politik uang, segera laporkan,” katanya.

Ia menyebutkan salah satu unsur yang harus terpenuhi dalam politik uang adalah ada upaya dari calon menggiring masyarakat untuk memilih dengan iming-iming pemberian berupa uang atau hadiah lainnya.

“Jadi, saat pemberian itu ada ajakan memilih, pemaparan visi dan misi, hingga pemakaian atribut,” katanya.

Akan tetapi, kalau calon hanya memberikan sesuatu kepada masyarakat tanpa ada iming-iming tertentu, bisa jadi itu adalah sedekah atau hadiah.

Kalau ada pembentukan sukarelawan, kemudian diberikan biaya operasional oleh calon, sukarelawan tersebut harus didaftarkan di KPU sebagai bagian dari tim sukses.

Pilkada di empat kota di Sumbar diikuti 12 pasang calon. Di Padang terjadi pertarungan dua petahana antara wali kota dan wakil wali kota, yaitu padangan Mahyeldi/Hendri Septa dan pasangan Emzalmi/Desri Ayunda.

Sementara itu, pada Pemilihan Wali Kota dan Wakil Wali Kota Pariaman, terjadi pertarungan petahana (Wakil Wali Kota Pariaman) Genius Umar melawan Mahyuddin/M. Ridwan dan Dewi/Pabrisal.

Lain halnya di Padang Panjang. Meski kota tersebut hanya memiliki dua kecamatan dengan jumlah penduduk sekitar 104.499 jiwa, daerah yang berjuluk Serambi Mekah itu ada empat pasang calon yang berlaga.

Pasangan pertama adalah petahana (Wali Kota Padang Panjang) Hendri Arnis yang memilih berpasangan dengan Eko Furqani; pasangan Mawardi/Taufik Idris; pasangan Rafi Meri/Ahmad Fadly; pasangan Fadly Amran/Asrul.

Di Kota Arang Sawahlunto, pasangan Ali Yusuf/Ismet berpasangan kembali untuk kedua kalinya setelah pada pilkada sebelumnya mereka berhasil unggul.

Maju sebagai penantang Ali Yusuf/Ismet adalah pasangan Deri Asta/Zohirin Sayuti (diusung oleh PPP, PAN, dan NasDem) dan pasangan Fauzi Hasan/Dasrial Ery (dicalonkan oleh Demokrat dan PDI Perjuangan).



[ad_2]

Sumber

Baca Selengkapnya
Click to comment

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Berita

Pemborosan dalam Reformasi Birokrasi – Fadli Zon

Fadli Zon Usul Provinsi Sumbar Ganti Nama Jadi Minangkabau

[ad_1]

Wakil Ketua Umum Partai Gerindra Fadli Zon menilai keputusan Presiden Jokowi yang menetapkan regulasi terkait sejumlah posisi wakil menteri aneh. Termasuk dengan hadirnya Perpres Nomor 62 Tahun 2021 yang mengatur soal Wamendikbudristek.

Fadli menilai upaya yang dilakukan Jokowi termasuk pemborosan. Apalagi jika regulasi tersebut demi mengakomodir pihak-pihak tertentu untuk mendapatkan jabatan.

“Kalau menurut saya agak aneh, ya. Banyak sekali wakil-wakil menteri padahal wakil-wakil menteri itu, kan, mestinya dibatasi hanya memang kementerian yang membutuhkan saja,” kata Fadli, Senin (2/8).

“Jumlah menteri, kan, sudah dibatasi dengan UU yaitu 34 menteri. Jadi wakil menteri itu, ya, bukan menteri. Jadi, ya, kalau menurut saya ini pemborosan di dalam perbaikan institusi kita atau reformasi birokrasi kita terlalu banyak,” tambahnya.

Dia lantas menyinggung soal keinginan Jokowi untuk melakukan perampingan birokrasi. Sehingga hadirnya regulasi yang mengatur soal posisi wakil menteri ini malah semakin tak konsisten.

“Dulu, kan, Pak Jokowi ingin ada perampingan, tapi ini semakin melebar. Ada wamen, ada stafsus, dan segala macam gitu, ya. Ini menurut saya jelas pemborosan uang negara. Kalau menurut saya ini lebih banyak pada akomodasi politik gitu, ya,” katanya.

Sejauh ini, posisi wamen di sejumlah kementerian dianggap tak perlu. Sebab ada pejabat eselon yang bisa membantu tugas-tugas seorang menteri.

“Ada menurut saya, kan, ada dirjen, ada direktur, dan sebagainya. Perangkat begitu besar jadi mestinya bagaimana institusi ini dibuat benar gitu, dibuat rapi, dan benar,” ujarnya.

Bagi Fadli, keputusan untuk mengakomodir pihak-pihak tertentu untuk mendapatkan jabatan bisa merusak birokrasi yang ada di Indonesia.

“Itulah kesan yang muncul di masyarakat dan itu menurut saya akan merusak birokrasi, merusak reformasi birokrasi, merusak tatanan yang sudah ada,” pungkasnya.

Saat ini sudah ada 14 wamen yang ada di kementerian Jokowi. Sementara itu, Jokowi sudah meneken perpres yang memutuskan ada wamen di 5 kementerian lain. Tapi, hingga saat ini, posisi wamen di 5 kementerian itu belum diisi.

Sumber

[ad_2]

Sumber

Baca Selengkapnya

Berita

Kita Tunggu Sampai Sore! – Fadli Zon

Sumbangan Rp 2T Akidio Tio Muara Kebohongan? Fadli Zon: Kita Tunggu Sampai Sore!

[ad_1]

Nama Akidi Tio belakangan menjadi topik perbincangan hangat masyarakat Republik Indonesia usai keluarga besar dan ahli warisnya mengklaim akan menyumbangkan dana senilai Rp 2 Triliun untuk membantu warga yang terdampak Covid-19 dan Pemberlakukan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM).

Pada awal isu tersebut berkembang, banyak tanggapan positif dari masyarakat mengingat nilai yang akan disumbangkan cukup fantastis. Namun belakangan, sejumlah pihak termasuk politisi Fadli Zon menduga dan menilai jika kabar tersebut hanya isapan jempol

Melansir akun twitter pribadinya @Fadlizon, politisi Partai Gerindra itu memposting sebuah unggahan yang isinya merujuk pada artikel Kompas dengan judul ‘Akidi Tio, Rp 2 Triliun, dan Pelecehan Akal Sehat Para Pejabat’ disertai caption yang cukup menohok.

“Hari masih pagi, mari kita tunggu sampai Senin sore nanti apakah masuk sumbangan Rp 2T. Kalau masuk berarti ini semacam mukjizat. Kalau ternyata bohong, bisa dikenakan pasal-pasal di UU No.1 tahun 1946,” cuit Fadli Zon, Senin (2/8/2021).

Keraguan Fadli akan kabar tersebut bukan tanpa alasan. Pasalnya, dari sumber artikel yang ditulis oleh Hamid Awaluddin yang Fadli cantumkan dalam cuitannya, disebutkan bahwa sosok Akidi Tio tidak memiliki jejak yang jelas sebagai seorang pengusaha.

Bahkan dalam sejumlah isu sebelumnya, terkait dugaan harta, janji investasi, dan bualan sumbangan menghebohkan dalam tulisan mantan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia dan Duta Besar Indonesia untuk Rusia dan Belarusia tersebut, seluruhnya bermuara pada kebohongan.

Suarapakar.com - Sumbangan Rp 2T Akidi Tio

Meski tulisan artikel itu masih sebatas opini, namun sangat layak dipertanyakan apakah Akidi Tio memang memiliki kekayaan fantastis sebanyak itu sehingga mampu menyumbangkan dana senilai Rp 2 Triliun untuk bantuan PPKM?

Senada namun tak sama dengan Fadli Zon, Menkopolhukam Mahfud MD meeminta semua pihak untuk menanggapi kabar tersebut dengan positif dan berharap dapat terealisasi.

“Ini perspektif dari Hamid Awaluddin ttg sumbangan Rp 2 T dari Akidi Tio. Bagus, agar kita tunggu realisasinya dgn rasional,” tulis Mahfud di Twitter, Senin (2/8/2021).

Namun demikian, ia juga memberikan pengakuan jika sebelumnya pernah membuat tulisan terkait pihak yang meminta fasilitas dari Negara untuk mencari harta karun yang nantinya akan disumbangkan kembali ke Negara. Adapun pada faktanya, kabar tersebut tak dapat di validasi.

“Sy jg prnh menulis ada orng2 yg minta difasilitasi utk menggali harta karun dll yg akan disumbangkan ke negara. Tp tak bs divalidasi,” beber Mahfud lagi.

Sebelumnya, keluarga dan ahli waris Akidi Tio disebutkan akan menyumbang Rp 2 triliun untuk penanganan COVID. Sumbangan itu sendiri telah diterima secara simbolis oleh Kapolda Sumatera Selatan, Irjen Pol Eko Indra Heri pada Senin (26/7/2021).

Kabarnya uang sumbangan senilai Rp 2 Triliun itu akan masuk pada Senin (2/8/2021). Namun hingga berita ini diturunkan, belum ada klarifikasi baik dari Polda Sumsel maupun pihak keluarga Akidi Tio.

Sumber

[ad_2]

Sumber

Baca Selengkapnya

Berita

Fadli Zon Koreksi Baliho Puan Maharani, Disebut Tidak Sesuai dengan KBBI – Fadli Zon

Fadli Zon Koreksi Baliho Puan Maharani, Disebut Tidak Sesuai dengan KBBI

[ad_1]

Politikus Partai Gerindra Fadli Zon memberikan koreksi terhadap baliho Ketua DPR RI Puan Maharani yang bertebaran di berbagai penjuru Indonesia.

Fadli mengoreksi penulisan diksi yang terdapat dalam narasi di baliho Puan yang menurutnya terdapat kesalahan.

“Mari gunakan bahasa Indonesia yg baik dan benar apalagi dlm bentuk baliho besar yg terpampang ke seantero negeri,” kata Fadli dalam cuitan di Twitter, Senin, 2 Agustus 2021.

Adapun Fadli memberikan koreksi terhadap penulisan kata ‘kebhinnekaan’ yang menurutnya tidak sesuai dengan Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI).

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) yg benar itu ‘kebinekaan’ bukan ‘kebhinnekaan’. Tapi kelihatannya semua baliho sdh dipajang. Sekedar koreksi,” tulis Fadli.

Lebih lanjut ia menjelaskan makna dari ‘Kebinekaan’ sesuai dengan koreksinya terhadap baliho Puan Maharani.

“‘Kebinekaan’ artinya keberagaman, berbeda-beda. Harusnya bukan keberagaman (perbedaan) yg ditonjolkan, tp persatuan dlm keberagaman itu,” lanjutnya.

“Unity in diversity, ‘Bhinneka Tunggal Ika’ dlm serat ‘Kakawin Sutasoma’ karya Mpu Tantular. Jd jgn kita kepakkan sayap perbedaan, tapi persatuan.” jelasnya.

Seperti diketahui, baliho-baliho raksasa Puan Maharani bertebaran di berbagai penjuru Indonesia beberapa waktu belakangan dan kini semakin bertambah jumlahnya.

Berkaitan itu, pihak PDIP sebelumnya sudah mengungkapkan alasan baliho dan billboard Puan dipasang di berbagai tempat di Indonesia.

Menurut Anggota DPR RI Fraksi PDIP, Hendrawan mengatakan bahwa pemasangan baliho Puan adalah bentuk kegembiraan karena putri Megawati Soekarnoputri itu adalah perempuan pertama yang memimpin DPR.

“Ini ekspresi kegembiraan karena Mbak PM (Puan Maharani) adalah perempuan pertama Ketua DPR dari 23 ketua DPR dalam sejarah RI. Tagline-nya macam-macam. Ada yang berkaitan dengan imbauan perkuatan gotong royong menghadapi pandemi, penguatan semangat kebangsaan, dan dorongan optimisme menghadapi masa depan,” ujar Hendrawan.

Sumber

[ad_2]

Sumber

Baca Selengkapnya

Populer