Connect with us

Berita

Terkait Pemakzulan Presiden, Fadli Zon: Yang Ketakukan Pasti Anti Demokrasi

Terkait Pemakzulan Presiden, Fadli Zon: Yang Ketakukan Pasti Anti Demokrasi

[ad_1]

Insiden teror oleh oknum tertentu terhadap
penyelenggaran diskusi ilmiah yang digelar oleh Constitusional Law
Society (CLS) Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada (UGM) beberapa hari
lalu terus menarik perhatian publik. Kebebasan berpendapat di tengah
pandemi COVID-19, hingga pemakzulan presiden pun turut menjadi isu
bergulir pasca kejadian itu.

Isu ramainya soal pemakzulan presiden turut dikomentari beberapa
kalangan, termasuk politisi di Senayan. Anggota DPR RI dari Partai
Gerindra, Fadli Zon buka suara.

Menurut Fadli, harusnya di negara demokrasi tidak ada yang perlu ditakutkan untuk berbicara pemakzulan. Ia menyebut yang ketakutan adalah orang yang tidak percaya diri, bahkan anti demokrasi.

“Knp harus takut membicarakan pemakzulan, itu hal lumrah saja dlm demokrasi. Yg ketakutan pasti yg tak percaya diri, paranoid n anti-demokrasi,” tulis Fadli di Twitternya.

Sementara itu, Ketua Dewan Pertimbangan Majelis Ulama Indonesia (MUI)
Pusat, Din Syamsuddin menjelaskan makna dari sebuah kebebasan
berpendapat. Mantan Ketum PP Muhammadiyah ini mengupas dari perspektif
Islam dan pemikiran politik Islam.

Din mengatakan, ihwal kebebasan berpendapat, para ulama memahaminya
sebagai salah satu dari tiga dimensi penting dari kebebasan. Ia
menegaskan kebebasan merupakan hak manusiawi dan hak makhluk. Bahkan
Tuhan mempersilahkan manusia untuk beriman atau tidak.

“Bahkan Sang Pencipta menyilahkan manusia mau beriman atau tidak
beriman, ini pangkal dari sebuah kebebasan,” kata Din dalam diskusi
bertajuk ‘Menyoal Kebebasan Berpendapat dan Konstitusionalitas
Pemakzulan Presiden di Era Pandemi Covid-19’, yang digelar secara
virtual, Senin, 1 Juni 2020..

Oleh karena itu, menurut Din, kebebasan pada manusia ini dipandang
sebagai sesuatu yang melekat pada manusia itu sendiri. Ia menyebut
manusia punya kebebasan berkehendak dan berbuat.

“Oleh karena itulah, ada yang memandang, seperti yang saya kutip dari
Mohammad Abdul melihat atau menilai kebebasan itu sebagai sesuatu yang
sakral dan transendental. Sebagai sesuatu yang suci dan melekat dengan
fitrah kemanusiaan, manusia bebas walupun terbatas,” kata Din.

Lebih lanjut Din menjelaskan, Abdul menilai kebebasan itu hanya dapat
diaktualisasikan oleh manusia kalau manusia sudah melewati dua fase
kehidupannya.

Fase pertama yakni eksistensi, alamiah ketika manusia masih berada
dalam masa jahiliah atau kebodohan. Fase kedua, yakni fase sosial atau
komunal, saat manusia sudah berbudaya dan berperadaban. Din menyebut
kebebasaan adalah sesuatu yang tinggi.

“Hanyalah pada manusia beradap ada kebebasan dan ada pemberian
kebebasan. Tentu logika sebaliknya adalah tidak beradab kalau ada orang
atau rezim yang ingin menghalang-halangi apalagi meniadakan kebebasan
itu,” kata Din.

Berangkat dari hal itu, Din menambahkan, para pemikir politik Islam
kemudian melihat kebebasan menjadi tiga hal, yakni kebebasan beragama,
kebebasan berbicara, kebebasan memilih dan dipilih.

Oleh karena itu, tekan Din, ihwal kebebasan berpendapat ini mempunyai
landasan teologis dan filosifis yang kuat pada pemikiran Islam. “Oleh
karena itu apa yang dirumuskan dalam sejarah peradaban manusia, seperti
Magna Charta hingga Universal Declaration of Human Rights sangat
memberikan ruang bagi kebebasan itu sendiri,” papar Din.

Begitu pula dengan UUD 1945. Menurut Din, tokoh-tokoh yang
merumuskannya sangat paham tentang prinsip-prinsip kebebasan yang ada
dalam Islam dan dalam sejarah pemikiran Islam. “Karena itu, kita
terganggu jika ada rezim yang cenderung otoriter represif dan anti
kebebasan berpendapat,” ungkap Din.

Din menegaskan, kebebasan berpendapat selagi dilandasi norma-norma,
etika dan nilai yang disepakati, maka itu adalah hak rakyat warga
negara. Negara melalui pemimpin tak boleh mengganggu gugat.

Din bahkan mengatakan pemakzulan pemimpin sangat mungkin dilakukan
apabila terjadi kepemimpinan represif dan cenderung diktator. Din
kemudian mengutip tokoh pemikir politik Islam, Al Mawardi, mengenai
syarat-syarat yang harus terpenuhi terkait pemakzulan itu.

“Pemakzulan dalam pendapat beberapa teoritikus politik Islam, Al
Mawardi yang terkenal itu, pemakzulan imam, pemimpin, mungkin dilakukan
jika syarat tertanggalkan,” ujarnya.

Syarat pertama yakni ketidakadilan. Din mengungkapkan, jika seorang
pemimpin menciptakan ketidakadilan atau menciptakan kesenjangan sosial
di masyarakat maka sangat mungkin untuk dimakzulkan.

“Apabila tidak adil di masyarakat, hanya menciptakan satu kelompok
lebih kaya dari yang lain, ada kesenjangan sosial ekonomi, sudah dapat
makzul,” kata dia.

Syarat berikutnya adalah tidak memiliki ilmu pengetahuan. Menurut Din
ketiadaan ilmu ini merujuk kerendahan visi, terutama tentang cita-cita
hidup bangsa.

Menurut Dosen Pemikiran Politik Islam FISIP UIN Syarif Hidayatullah
itu, dalam konteks negara modern, visi adalah cita-cita bangsa yang
bersatu, berdaulat, adil, dan makmur. Jika tidak diwujudkan oleh
pemimpin sudah bisa menjadi syarat makzul.

Syarat berikutnya, imbuh Din, ketiadaan kemampuan atau kewibawaan
pemimpin dalam situasi kritis. Menurut Din, kondisi itu kerap terjadi
saat seorang pemimpin tertekan kekuatan dari luar. Ia mengibaratkan
kondisi seperti suatu negara kehilangan kedaulatan akibat kekuatan
asing.

“Apabil pemimpin tertekan kekuatan lain, terdikte kekuatan lain, baik
keluarga atau orang dekat, itu memenuhi syarat makzul,” ujarnya.

Din juga menyebut pemakzulan pemimpin sangat mungkin dilakukan
apabila terjadi kepemimpinan yang represif dan cenderung diktator. Ia
melihat, pemerintah Indonesia belakangan ini tak berbeda jauh dengan
kondisi tersebut. Menurutnya, pemerintah sekarang ini tengah membangun
kediktatoran konstitusional. Hal tersebut terlihat dari berbagai
kebijakan yang diterbitkan pemerintah.

“Saya melihat kehidupan kenegaraan kita terakhir ini membangun
kediktatoran konstitusional, bersemayam di balik konstitusi seperti
godok Perppu jadi UU, dan sejumlah kebijakan-kebijakan lain,” kata Din.

Merujuk pada pemikir Islam modern Rasyid Ridho, Din meminta masyarakat tidak segan melawan kepemimpinan yang zalim, apalagi jika melanggar konstitusi. “Rasyid Ridho (pemikir Islam) yang lebih modern dari Al Ghazali menyerukan melawan kepemimpinan yang zalim terutama jika membahayakan kehidupan bersama seperti melanggar konstitusi,” ucapnya.

Sumber

[ad_2]

Sumber

Baca Selengkapnya
Click to comment

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Berita

Pemborosan dalam Reformasi Birokrasi – Fadli Zon

Fadli Zon Usul Provinsi Sumbar Ganti Nama Jadi Minangkabau

[ad_1]

Wakil Ketua Umum Partai Gerindra Fadli Zon menilai keputusan Presiden Jokowi yang menetapkan regulasi terkait sejumlah posisi wakil menteri aneh. Termasuk dengan hadirnya Perpres Nomor 62 Tahun 2021 yang mengatur soal Wamendikbudristek.

Fadli menilai upaya yang dilakukan Jokowi termasuk pemborosan. Apalagi jika regulasi tersebut demi mengakomodir pihak-pihak tertentu untuk mendapatkan jabatan.

“Kalau menurut saya agak aneh, ya. Banyak sekali wakil-wakil menteri padahal wakil-wakil menteri itu, kan, mestinya dibatasi hanya memang kementerian yang membutuhkan saja,” kata Fadli, Senin (2/8).

“Jumlah menteri, kan, sudah dibatasi dengan UU yaitu 34 menteri. Jadi wakil menteri itu, ya, bukan menteri. Jadi, ya, kalau menurut saya ini pemborosan di dalam perbaikan institusi kita atau reformasi birokrasi kita terlalu banyak,” tambahnya.

Dia lantas menyinggung soal keinginan Jokowi untuk melakukan perampingan birokrasi. Sehingga hadirnya regulasi yang mengatur soal posisi wakil menteri ini malah semakin tak konsisten.

“Dulu, kan, Pak Jokowi ingin ada perampingan, tapi ini semakin melebar. Ada wamen, ada stafsus, dan segala macam gitu, ya. Ini menurut saya jelas pemborosan uang negara. Kalau menurut saya ini lebih banyak pada akomodasi politik gitu, ya,” katanya.

Sejauh ini, posisi wamen di sejumlah kementerian dianggap tak perlu. Sebab ada pejabat eselon yang bisa membantu tugas-tugas seorang menteri.

“Ada menurut saya, kan, ada dirjen, ada direktur, dan sebagainya. Perangkat begitu besar jadi mestinya bagaimana institusi ini dibuat benar gitu, dibuat rapi, dan benar,” ujarnya.

Bagi Fadli, keputusan untuk mengakomodir pihak-pihak tertentu untuk mendapatkan jabatan bisa merusak birokrasi yang ada di Indonesia.

“Itulah kesan yang muncul di masyarakat dan itu menurut saya akan merusak birokrasi, merusak reformasi birokrasi, merusak tatanan yang sudah ada,” pungkasnya.

Saat ini sudah ada 14 wamen yang ada di kementerian Jokowi. Sementara itu, Jokowi sudah meneken perpres yang memutuskan ada wamen di 5 kementerian lain. Tapi, hingga saat ini, posisi wamen di 5 kementerian itu belum diisi.

Sumber

[ad_2]

Sumber

Baca Selengkapnya

Berita

Kita Tunggu Sampai Sore! – Fadli Zon

Sumbangan Rp 2T Akidio Tio Muara Kebohongan? Fadli Zon: Kita Tunggu Sampai Sore!

[ad_1]

Nama Akidi Tio belakangan menjadi topik perbincangan hangat masyarakat Republik Indonesia usai keluarga besar dan ahli warisnya mengklaim akan menyumbangkan dana senilai Rp 2 Triliun untuk membantu warga yang terdampak Covid-19 dan Pemberlakukan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM).

Pada awal isu tersebut berkembang, banyak tanggapan positif dari masyarakat mengingat nilai yang akan disumbangkan cukup fantastis. Namun belakangan, sejumlah pihak termasuk politisi Fadli Zon menduga dan menilai jika kabar tersebut hanya isapan jempol

Melansir akun twitter pribadinya @Fadlizon, politisi Partai Gerindra itu memposting sebuah unggahan yang isinya merujuk pada artikel Kompas dengan judul ‘Akidi Tio, Rp 2 Triliun, dan Pelecehan Akal Sehat Para Pejabat’ disertai caption yang cukup menohok.

“Hari masih pagi, mari kita tunggu sampai Senin sore nanti apakah masuk sumbangan Rp 2T. Kalau masuk berarti ini semacam mukjizat. Kalau ternyata bohong, bisa dikenakan pasal-pasal di UU No.1 tahun 1946,” cuit Fadli Zon, Senin (2/8/2021).

Keraguan Fadli akan kabar tersebut bukan tanpa alasan. Pasalnya, dari sumber artikel yang ditulis oleh Hamid Awaluddin yang Fadli cantumkan dalam cuitannya, disebutkan bahwa sosok Akidi Tio tidak memiliki jejak yang jelas sebagai seorang pengusaha.

Bahkan dalam sejumlah isu sebelumnya, terkait dugaan harta, janji investasi, dan bualan sumbangan menghebohkan dalam tulisan mantan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia dan Duta Besar Indonesia untuk Rusia dan Belarusia tersebut, seluruhnya bermuara pada kebohongan.

Suarapakar.com - Sumbangan Rp 2T Akidi Tio

Meski tulisan artikel itu masih sebatas opini, namun sangat layak dipertanyakan apakah Akidi Tio memang memiliki kekayaan fantastis sebanyak itu sehingga mampu menyumbangkan dana senilai Rp 2 Triliun untuk bantuan PPKM?

Senada namun tak sama dengan Fadli Zon, Menkopolhukam Mahfud MD meeminta semua pihak untuk menanggapi kabar tersebut dengan positif dan berharap dapat terealisasi.

“Ini perspektif dari Hamid Awaluddin ttg sumbangan Rp 2 T dari Akidi Tio. Bagus, agar kita tunggu realisasinya dgn rasional,” tulis Mahfud di Twitter, Senin (2/8/2021).

Namun demikian, ia juga memberikan pengakuan jika sebelumnya pernah membuat tulisan terkait pihak yang meminta fasilitas dari Negara untuk mencari harta karun yang nantinya akan disumbangkan kembali ke Negara. Adapun pada faktanya, kabar tersebut tak dapat di validasi.

“Sy jg prnh menulis ada orng2 yg minta difasilitasi utk menggali harta karun dll yg akan disumbangkan ke negara. Tp tak bs divalidasi,” beber Mahfud lagi.

Sebelumnya, keluarga dan ahli waris Akidi Tio disebutkan akan menyumbang Rp 2 triliun untuk penanganan COVID. Sumbangan itu sendiri telah diterima secara simbolis oleh Kapolda Sumatera Selatan, Irjen Pol Eko Indra Heri pada Senin (26/7/2021).

Kabarnya uang sumbangan senilai Rp 2 Triliun itu akan masuk pada Senin (2/8/2021). Namun hingga berita ini diturunkan, belum ada klarifikasi baik dari Polda Sumsel maupun pihak keluarga Akidi Tio.

Sumber

[ad_2]

Sumber

Baca Selengkapnya

Berita

Fadli Zon Koreksi Baliho Puan Maharani, Disebut Tidak Sesuai dengan KBBI – Fadli Zon

Fadli Zon Koreksi Baliho Puan Maharani, Disebut Tidak Sesuai dengan KBBI

[ad_1]

Politikus Partai Gerindra Fadli Zon memberikan koreksi terhadap baliho Ketua DPR RI Puan Maharani yang bertebaran di berbagai penjuru Indonesia.

Fadli mengoreksi penulisan diksi yang terdapat dalam narasi di baliho Puan yang menurutnya terdapat kesalahan.

“Mari gunakan bahasa Indonesia yg baik dan benar apalagi dlm bentuk baliho besar yg terpampang ke seantero negeri,” kata Fadli dalam cuitan di Twitter, Senin, 2 Agustus 2021.

Adapun Fadli memberikan koreksi terhadap penulisan kata ‘kebhinnekaan’ yang menurutnya tidak sesuai dengan Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI).

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) yg benar itu ‘kebinekaan’ bukan ‘kebhinnekaan’. Tapi kelihatannya semua baliho sdh dipajang. Sekedar koreksi,” tulis Fadli.

Lebih lanjut ia menjelaskan makna dari ‘Kebinekaan’ sesuai dengan koreksinya terhadap baliho Puan Maharani.

“‘Kebinekaan’ artinya keberagaman, berbeda-beda. Harusnya bukan keberagaman (perbedaan) yg ditonjolkan, tp persatuan dlm keberagaman itu,” lanjutnya.

“Unity in diversity, ‘Bhinneka Tunggal Ika’ dlm serat ‘Kakawin Sutasoma’ karya Mpu Tantular. Jd jgn kita kepakkan sayap perbedaan, tapi persatuan.” jelasnya.

Seperti diketahui, baliho-baliho raksasa Puan Maharani bertebaran di berbagai penjuru Indonesia beberapa waktu belakangan dan kini semakin bertambah jumlahnya.

Berkaitan itu, pihak PDIP sebelumnya sudah mengungkapkan alasan baliho dan billboard Puan dipasang di berbagai tempat di Indonesia.

Menurut Anggota DPR RI Fraksi PDIP, Hendrawan mengatakan bahwa pemasangan baliho Puan adalah bentuk kegembiraan karena putri Megawati Soekarnoputri itu adalah perempuan pertama yang memimpin DPR.

“Ini ekspresi kegembiraan karena Mbak PM (Puan Maharani) adalah perempuan pertama Ketua DPR dari 23 ketua DPR dalam sejarah RI. Tagline-nya macam-macam. Ada yang berkaitan dengan imbauan perkuatan gotong royong menghadapi pandemi, penguatan semangat kebangsaan, dan dorongan optimisme menghadapi masa depan,” ujar Hendrawan.

Sumber

[ad_2]

Sumber

Baca Selengkapnya

Populer