Connect with us

News

Erisman Dipercaya Jadi Ketua Pelaksana Seminar “Jadilah Tuan di Negeri Sendiri”

Erisman Dipercaya Jadi Ketua Pelaksana Seminar "Jadilah Tuan di Negeri Sendiri"

[ad_1]

PADANGPOS.COM (Padang)—Sebagai seorang politisi dari Partai Gerindra, Ersiman dipercaya menjadi ketua pelaksana Seminar yang berthemakan “Jadilah Tuan di Negeri Sendiri” yang insya Allah akan dilaksanakan, Jumat, 6 Juli 2018, di Asrama Haji Kota Padang, Sumatera Barat.

“Sebagai ketua pelaksana, tentu saya berharap kegiatan seminar ini berlangsung sukses dan mendapat respon positif dari kalangan mahasiswa dan OKP di Kota Padang,” kata anggota DPRD Kota Padang ini, kepada Padangpos.com.

Menurut Ersiman, kehidupan berbangsa dan bernegara selama 72 tahun mengalami pasang surut. Kepemimpinan politik silih berganti namun kondisi rakyat Indonesia tidak berubah, khususnya boemipoetra mengalami berbagai persoalan di berbagai bidang kehidupan baik sosial, politik dan ekonomi terutama ketika penggunaan istilah “pribumi” dan “non pribumi” dihentikan melalui Inpres Nomor 26 Tahun 1998 Tentang Penghentian Penggunaan Istilah Pribumi dan Non Pribumi Dalam Semua Perumusan dan Penyelenggaraan Kebijakan, Perencanaan Program, ataupun Pelaksanaan Kegiatan Penyelenggaraan Pemerintahan. 

“Padahal PBB telah mengakui dan melindungi kedudukan pribumi sebagaimana yang termaktub dalam Resolusi PBB 21/195 Tentang Hak-Hak Masyarakat Pribumi sebagai bagian dari Deklarasi Hak Asasi Manusia. Kondisi ini semakin diperparah dengan amandemen,” kata pengusaha perhotelan ini.

 Kemudian secara secara historis, kata Erisman, jika merujuk pasal 163 IS (Indische Staatregeling) penduduk Indonesia zaman Hindia Belanda diklasifikasikan menjadi tiga stratifikasi yaitu Eropa, Timur Asing (Terutama Tionghoa dan Arab) dan Pribumi/Inlander.  Stratifikasi ini,  menunjukkan perbedaan status sosial, politik, hukum dan ekonomi penduduk Hindia Belanda. Stratifikasi ke tiga adalah stratifikasi yang paling rendah kedudukannya dalam pemerintahan Hindia Belanda. 

Akibat adanya stratifikasi ini, lanjut Erisman, kesenjangan semakin tajam dan ketidakadilan semakin dirasakan oleh pribumi/Inlander sehingga memunculkan perlawanan yang dimulai sejak periode kerajaan nusantara yang bersifat primordial, hingga munculnya kesadaran kemerdekaan dengan ditandai munculnya berbagai gerakan politik boemipoetra seperti Sarekat Islam pada tahun 1905 yang dipelopori oleh H Samanhudi dan Haji Umar Said Cokroaminoto, Budi Utomo 1908 yang dipelopori oleh DR  Wahidin Sudirohusodo dan DR Sutomo, Nationaal Onderwijs Instituut Taman Siswa atau Perguruan Taman Siswa 1922 yang dipelopori oleh KH Dewantara hingga Perkumpulan Pemuda Indonesia yang selanjutnya melahirkan Putusan Kongres Pemuda-Pemudi Indonesia pada Kongres Pemuda II 1928 yang kemudian menjadi momentum cikal bakal lahirnya kesadaran berbangsa.

“Selanjutnya mengukuhkan konsensus politik dengan mendirikan NKRI pada 17 Agustus 1945. Perjuangan boemipoetra tidak hanya sebatas merebut kemerdekaan dari penjajah, melainkan juga mempertahankan kemerdekaan untuk membuktikan kepada dunia bahwa Indonesia adalah negara yang berdaulat. Untuk itu, berbagai macam perlawanan tidak henti-hentinya dilakukan tanpa mengenal rasa lelah pasca deklarasikemerdekaan Indonesia,” tegas Erisman lagi.

Adapun maksud penyelenggaraan Pra Kongres Boemipoetra Nusantara Indonesia ini, kata Ersiman untuk mengembalikan NKRI kepada Boemipoetra Nusantara yang diaplikasikan pada sistem bermasyarakat, sistem berbangsa, dan sistem bernegara yang “base on self indigeneous people power”. “Putra bangsa haruslah jadi tuan di negeri sendiri,” tegas putra Pariaman laweh ini. 

Jika dilihat dari UUD 1945 pasal 6 ayat 1 “Presiden ialah orang Indonesia asli” diganti menjadi “Calon Presiden dan calon Wakil Presiden adalah harus warga negara Indonesia sejak kelahirannya” dan amandemen Pasal 26 ayat 1 “yang menjadi Warga Negara Indonesia ialah orang-orang bangsa Indonesia asli dan orang-orang bangsa lain yang disahkan dengan undang-undang sebagai warga negara”, diganti melalui amandemen ke 2 menjadi “penduduk ialah warga negara Indonesia dan orang asing yang bertempat tinggal di Indonesia”. “Amandemen ini membawa konsekuensi politik yang berdampak pada kehidupan bangsa Indonesia khususnya posisi boemipoetra yang saat ini selain tidak berdaulat secara ekonomi juga tidak berdaulat secara politik,” tegas Ersiman.

Apabila kondisi ini dibiarkan berlarut-larut akan memunculkan potensi disintegrasi bangsa, merebaknya konflik sosial di masyarakat yang mengancam kedaulatan dan kesatuan NKRI. “Untuk itu diperlukan langkah kongkret dengan diadakannya Pra Kongres Boemipoetra Nusantara menggunakan paradigma Asta Gatra Nasional yang meliputi, pertama IPOLEKSOSBUDHANKAM (panca gatra nasional) kedua, Tri Gatra Nasional terdiri atas aspek lokasi dan posisi geografis wilayah Indonesia (aspek geografi), aspek kekayaan dan sumber daya alam (SDA) dan aspek kependudukan (Demografi) atau yang disebut dengan gatra alamiah. Paradigma Asta Gatra Nasional digunakan pada Pra Kongres Boemipoetra Nusantara Indonesia dalam rangka upaya Bela Negara secara komprehensif,” ujar Ersiman lagi.

Secara terpisah, Sekretaris Panitia Pelaksana Yal Azizi menyebutkan, tujuan Pra Kongres Boemipoetra Nusantara Indonesia adalah :

a. Mengungkapkan dan menegaskan kembali atas peran, hak dan kewajiban

boemipoetra dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.

b. Menyikapi secara kritis dan komprehensif permasalahan yang terjadi saat ini

khususnya permasalahan kesenjangan sosial dan ekonomi yang semakin tajam.

c. Menumbuhkan kesadaran kepada masyarakat luas bahwa boemipoetra

merupakan Pendiri NKRI, boemipoetra Pemilik NKRI, boemipoetra Penguasa

NKRI

d. Mewujudkan kekuasaan boemipoetra Nusantara Indonesia pada setiap dimensi. (tio)



[ad_2]

Sumber

Baca Selengkapnya
Click to comment

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Berita

Pemborosan dalam Reformasi Birokrasi – Fadli Zon

Fadli Zon Usul Provinsi Sumbar Ganti Nama Jadi Minangkabau

[ad_1]

Wakil Ketua Umum Partai Gerindra Fadli Zon menilai keputusan Presiden Jokowi yang menetapkan regulasi terkait sejumlah posisi wakil menteri aneh. Termasuk dengan hadirnya Perpres Nomor 62 Tahun 2021 yang mengatur soal Wamendikbudristek.

Fadli menilai upaya yang dilakukan Jokowi termasuk pemborosan. Apalagi jika regulasi tersebut demi mengakomodir pihak-pihak tertentu untuk mendapatkan jabatan.

“Kalau menurut saya agak aneh, ya. Banyak sekali wakil-wakil menteri padahal wakil-wakil menteri itu, kan, mestinya dibatasi hanya memang kementerian yang membutuhkan saja,” kata Fadli, Senin (2/8).

“Jumlah menteri, kan, sudah dibatasi dengan UU yaitu 34 menteri. Jadi wakil menteri itu, ya, bukan menteri. Jadi, ya, kalau menurut saya ini pemborosan di dalam perbaikan institusi kita atau reformasi birokrasi kita terlalu banyak,” tambahnya.

Dia lantas menyinggung soal keinginan Jokowi untuk melakukan perampingan birokrasi. Sehingga hadirnya regulasi yang mengatur soal posisi wakil menteri ini malah semakin tak konsisten.

“Dulu, kan, Pak Jokowi ingin ada perampingan, tapi ini semakin melebar. Ada wamen, ada stafsus, dan segala macam gitu, ya. Ini menurut saya jelas pemborosan uang negara. Kalau menurut saya ini lebih banyak pada akomodasi politik gitu, ya,” katanya.

Sejauh ini, posisi wamen di sejumlah kementerian dianggap tak perlu. Sebab ada pejabat eselon yang bisa membantu tugas-tugas seorang menteri.

“Ada menurut saya, kan, ada dirjen, ada direktur, dan sebagainya. Perangkat begitu besar jadi mestinya bagaimana institusi ini dibuat benar gitu, dibuat rapi, dan benar,” ujarnya.

Bagi Fadli, keputusan untuk mengakomodir pihak-pihak tertentu untuk mendapatkan jabatan bisa merusak birokrasi yang ada di Indonesia.

“Itulah kesan yang muncul di masyarakat dan itu menurut saya akan merusak birokrasi, merusak reformasi birokrasi, merusak tatanan yang sudah ada,” pungkasnya.

Saat ini sudah ada 14 wamen yang ada di kementerian Jokowi. Sementara itu, Jokowi sudah meneken perpres yang memutuskan ada wamen di 5 kementerian lain. Tapi, hingga saat ini, posisi wamen di 5 kementerian itu belum diisi.

Sumber

[ad_2]

Sumber

Baca Selengkapnya

Berita

Kita Tunggu Sampai Sore! – Fadli Zon

Sumbangan Rp 2T Akidio Tio Muara Kebohongan? Fadli Zon: Kita Tunggu Sampai Sore!

[ad_1]

Nama Akidi Tio belakangan menjadi topik perbincangan hangat masyarakat Republik Indonesia usai keluarga besar dan ahli warisnya mengklaim akan menyumbangkan dana senilai Rp 2 Triliun untuk membantu warga yang terdampak Covid-19 dan Pemberlakukan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM).

Pada awal isu tersebut berkembang, banyak tanggapan positif dari masyarakat mengingat nilai yang akan disumbangkan cukup fantastis. Namun belakangan, sejumlah pihak termasuk politisi Fadli Zon menduga dan menilai jika kabar tersebut hanya isapan jempol

Melansir akun twitter pribadinya @Fadlizon, politisi Partai Gerindra itu memposting sebuah unggahan yang isinya merujuk pada artikel Kompas dengan judul ‘Akidi Tio, Rp 2 Triliun, dan Pelecehan Akal Sehat Para Pejabat’ disertai caption yang cukup menohok.

“Hari masih pagi, mari kita tunggu sampai Senin sore nanti apakah masuk sumbangan Rp 2T. Kalau masuk berarti ini semacam mukjizat. Kalau ternyata bohong, bisa dikenakan pasal-pasal di UU No.1 tahun 1946,” cuit Fadli Zon, Senin (2/8/2021).

Keraguan Fadli akan kabar tersebut bukan tanpa alasan. Pasalnya, dari sumber artikel yang ditulis oleh Hamid Awaluddin yang Fadli cantumkan dalam cuitannya, disebutkan bahwa sosok Akidi Tio tidak memiliki jejak yang jelas sebagai seorang pengusaha.

Bahkan dalam sejumlah isu sebelumnya, terkait dugaan harta, janji investasi, dan bualan sumbangan menghebohkan dalam tulisan mantan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia dan Duta Besar Indonesia untuk Rusia dan Belarusia tersebut, seluruhnya bermuara pada kebohongan.

Suarapakar.com - Sumbangan Rp 2T Akidi Tio

Meski tulisan artikel itu masih sebatas opini, namun sangat layak dipertanyakan apakah Akidi Tio memang memiliki kekayaan fantastis sebanyak itu sehingga mampu menyumbangkan dana senilai Rp 2 Triliun untuk bantuan PPKM?

Senada namun tak sama dengan Fadli Zon, Menkopolhukam Mahfud MD meeminta semua pihak untuk menanggapi kabar tersebut dengan positif dan berharap dapat terealisasi.

“Ini perspektif dari Hamid Awaluddin ttg sumbangan Rp 2 T dari Akidi Tio. Bagus, agar kita tunggu realisasinya dgn rasional,” tulis Mahfud di Twitter, Senin (2/8/2021).

Namun demikian, ia juga memberikan pengakuan jika sebelumnya pernah membuat tulisan terkait pihak yang meminta fasilitas dari Negara untuk mencari harta karun yang nantinya akan disumbangkan kembali ke Negara. Adapun pada faktanya, kabar tersebut tak dapat di validasi.

“Sy jg prnh menulis ada orng2 yg minta difasilitasi utk menggali harta karun dll yg akan disumbangkan ke negara. Tp tak bs divalidasi,” beber Mahfud lagi.

Sebelumnya, keluarga dan ahli waris Akidi Tio disebutkan akan menyumbang Rp 2 triliun untuk penanganan COVID. Sumbangan itu sendiri telah diterima secara simbolis oleh Kapolda Sumatera Selatan, Irjen Pol Eko Indra Heri pada Senin (26/7/2021).

Kabarnya uang sumbangan senilai Rp 2 Triliun itu akan masuk pada Senin (2/8/2021). Namun hingga berita ini diturunkan, belum ada klarifikasi baik dari Polda Sumsel maupun pihak keluarga Akidi Tio.

Sumber

[ad_2]

Sumber

Baca Selengkapnya

Berita

Fadli Zon Koreksi Baliho Puan Maharani, Disebut Tidak Sesuai dengan KBBI – Fadli Zon

Fadli Zon Koreksi Baliho Puan Maharani, Disebut Tidak Sesuai dengan KBBI

[ad_1]

Politikus Partai Gerindra Fadli Zon memberikan koreksi terhadap baliho Ketua DPR RI Puan Maharani yang bertebaran di berbagai penjuru Indonesia.

Fadli mengoreksi penulisan diksi yang terdapat dalam narasi di baliho Puan yang menurutnya terdapat kesalahan.

“Mari gunakan bahasa Indonesia yg baik dan benar apalagi dlm bentuk baliho besar yg terpampang ke seantero negeri,” kata Fadli dalam cuitan di Twitter, Senin, 2 Agustus 2021.

Adapun Fadli memberikan koreksi terhadap penulisan kata ‘kebhinnekaan’ yang menurutnya tidak sesuai dengan Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI).

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) yg benar itu ‘kebinekaan’ bukan ‘kebhinnekaan’. Tapi kelihatannya semua baliho sdh dipajang. Sekedar koreksi,” tulis Fadli.

Lebih lanjut ia menjelaskan makna dari ‘Kebinekaan’ sesuai dengan koreksinya terhadap baliho Puan Maharani.

“‘Kebinekaan’ artinya keberagaman, berbeda-beda. Harusnya bukan keberagaman (perbedaan) yg ditonjolkan, tp persatuan dlm keberagaman itu,” lanjutnya.

“Unity in diversity, ‘Bhinneka Tunggal Ika’ dlm serat ‘Kakawin Sutasoma’ karya Mpu Tantular. Jd jgn kita kepakkan sayap perbedaan, tapi persatuan.” jelasnya.

Seperti diketahui, baliho-baliho raksasa Puan Maharani bertebaran di berbagai penjuru Indonesia beberapa waktu belakangan dan kini semakin bertambah jumlahnya.

Berkaitan itu, pihak PDIP sebelumnya sudah mengungkapkan alasan baliho dan billboard Puan dipasang di berbagai tempat di Indonesia.

Menurut Anggota DPR RI Fraksi PDIP, Hendrawan mengatakan bahwa pemasangan baliho Puan adalah bentuk kegembiraan karena putri Megawati Soekarnoputri itu adalah perempuan pertama yang memimpin DPR.

“Ini ekspresi kegembiraan karena Mbak PM (Puan Maharani) adalah perempuan pertama Ketua DPR dari 23 ketua DPR dalam sejarah RI. Tagline-nya macam-macam. Ada yang berkaitan dengan imbauan perkuatan gotong royong menghadapi pandemi, penguatan semangat kebangsaan, dan dorongan optimisme menghadapi masa depan,” ujar Hendrawan.

Sumber

[ad_2]

Sumber

Baca Selengkapnya

Populer