Connect with us

News

Dokter Muda, Nasib Mu Kini

Dokter Muda, Nasib Mu Kini

[ad_1]

dr. Hardisman, MHID, PhD

Oleh: dr. Hardisman, MHID, PhD

Bulan Juli setiap tahunnya merupakan waktu berakhirnya tahun ajaran pendidikan dan akan dimulainya tahun ajaran berikutnya. Bagi lulusan SLTA saatnya mereka memilih jurusan yang diminati untuk melanjutkan ke perguruan tinggi. Melanjutkan studi setelah SLTA tentunya sangat berbeda dengan melanjutkan studi dari jenjang sekolah dasar ke sekolah menengah pertama atau dari sekolah menengah pertama ke jenjang menengah atas. Pemilihan program studi di perguruan tinggi sangatlah erat kaitannya dengan pemilihan karir dan profesi masa depan, terutama untuk pendidikan yang terkait dengan profesi.

Pendidikan Dokter: Prestasi atau Prestise

Program Studi Pendidikan Dokter atau Fakultas Kedokteran, hingga saat ini masih menjadi salah satu pilihan favorit para lulusan SLTA. Bahkan hingga tahun 2018 ini, persentase nilai kelulusan atau “passing grade” Program Studi Pendidikan Dokter tetap menjadi yang teratas, atau minimal tiga teratas dibandingkan prodi lain di universitas yang sama. Meskipun ada jumlah peminat program lain yang sempat melonjak dalam sepuluh tahun terakhir, namun akhirnya juga surut dan bahkan sepi peminat, misalnya program studi yang terkait IT dan pertambangan. Namun, peminat dan persaingan untuk diterima pada Program Studi Pendidikan Dokter tetap stabil dan ketat.

Bahkan bagi orang tua yang sangat menginginkan anaknya jadi dokter, berusaha pada setiap seleksi masuk pada perguruan tinggi; mulai dari SNMPTN, lalu bila tidak lulus ikut SBMPTN, dan bila tidak juga berusaha semaksimal mungkin di Seleksi Mandiri atau masuk di Perguruan Tinggi Swasta (PTS). Hal ini tidaklah dapat dipungkiri, karena sebagian pandangan di masyarakat, menjadi dokter adalah “sesuatu banget” yang berbeda dengan profesi lain. Bagi sebagian orang tua, ada “prestise” dengan kebanggaan tersendiri bagi mereka bila anaknya menjadi dokter. Demi masa depan anak, tentu orang tua berusaha sekuatnya, termasuk dalam hal finansial sekalipun; ibarat pepatah Minangkabau “Indak ado kayu, janjang dikapiang; indak ado ameh, bungka diasah.”

Apakah Harapan Cerah itu Masih Ada?

Adalah sebuah keniscayaan, bahwa bagi orang tua yang sangat menginginkannya anaknya menjadi dokter dengan harapan masa depannya lebih baik dan hidupnya lebih “terpandang”. Juga tidak salah, masyarakat tentu membayangkan hidup yang layak dan berkecukupan bagi dokter berdasarkan pengalaman dan apa yang dilihatnya pada dokter-dokter spesialis senior.

Dokter yang tamat dua puluh atau tiga puluhan tahun yang lalu, sangatlah berbeda situasinya dengan saat ini. Pada saat itu jumlah dokter sedikit dan kebutuhan secara nasional sangat tinggi. Sehingga, setiap dokter yang tamat langsung akan mendapatkan tempat sebagai pimpinan Puskesmas, diminta oleh Rumah Sakit, atau bahkan ditawarkan untuk masuk sebagai perwira militer. Para dokter senior saat ini sudah berpendikan spesialisasi atau dengan jabatan yang sudah matang yang terlihat oleh masyarakat sebagai profesi yang sangat mapan.

Apakah pendidikan dokter dan profesi dokter masa depan itu secerah yang dibayangkannya? Atau masih adakah harapan cerah itu bagi para dokter muda?

Banyak hal yang harus diketahui oleh masyarakat tentang perubahan dan perkembangan sistem serta regulasi yang ada pada Pendidikan kedokteran untuk menjawab banyak pertanyaan-pertanyaan tersebut. Masyarakat terutama orang tua mahasiswa kedokteran perlu memahami konteks saat ini pada pendidikan dan profesi dokter, sehingga harapannya menjadi proporsional terhadap masa depan anaknya.

Pertama, jumlah lulusan dokter yang relatif banyak dan persaingan semakin tinggi. Saat ini berdasarkan data di Lembaga Akreditasi Mandiri Perguruan Tinggi Kesehatan (LAMPT-Kes) ada 86 Fakultas Kedokteran atau Program Studi Pendidikan Dokter di Indonesia, dengan 20 terakreditasi A, 44 terakreditasi B, dan sisanya terakreditasi C dan dalam proses akan diakreditasi. Jika setiap institusi mengikuti aturan yang ada rata-rata akan ada 100 lulusan dokter baru pada setiap institusi, dengan jumlah 8.600 lulusan dokter setiap tahunnya. Angka ini tentunya adalah prediksi minimal, karena meskipun sudah ada regulasi yang tegas tentang kuota penerimaan (Permenristekdikti No.43/2017), banyak institusi yang menerima jauh diatas ketentuan. Akhirnya, banyaknya lulusan dokter baru akan menjadikan persaingan semakin tinggi, karena mamang peluang kerja juga semakin menurun.

Kesempatan kerja dokter jelas sangat berkurang karena memang jumlah dokter yang ada saat ini pada sebagian besar daerah dan wahana layanan kesehatan sudah terpenuhi. Berdasarkan data Konsil Kedokteran Indonesia (KKI) awal tahun 2018 ada 198.198 dokter, dengan 127.667 dokter praktek umum, 36.292 dokter spesialis, dan sisanya dokter gigi. Dengan jumlah penduduk Indonesia 255 juta jiwa, maka rasio dokter praktek umum saja sudah 1:2.000, yang berarti sudah mencukupi untuk kebutuhan minimal rata-rata nasional sesuai rekomendasi WHO (minimal 1:2500). Meskipun dengan peningkata target rasio dokter 1:1.000, untuk medekati negara tetangga, dokter masih diperlukan.

Kesempatan kerja semakin berkurang dan persaingan semakin tinggi juga diakibatkan oleh distribusi dokter yang tidak merata, yang disertai pula kecendrungan pilihan lokasi bekerja lulusan baru. Lebih banyak dokter muda yang memilih untuk bekerja di kota besar dibandingkan dengan daerah terpencil, padahal di kota-kota besar sudah terjadi kelebihan dan terjadi penumpukan dokter. Misalnya, rasio dokter per-jumlah penduduk di DKI Jakarta saat ini sudah 1:608, sedangkan rata-rata di Sulawesi Barat 1:10.400.

Kedua, adalah lamanya waktu pendidikan dan waktu yang dibutuhkan untuk bisa menjalankan profesi.

Dalam batasan normal, pendidikan kedokteran sudah lebih lama dari pendidikan sarjana lainnya karena memang Pendidikan kedokteran adalah Pendidikan akademik dan profesi dalam dua tahap sekaligus. Pada tahapan akademik untuk mendapatkan gelar Sarjana Kedokteran (S.Ked), dibutuhkan waktu 3,5-4 tahun, selanjutnya dibutuhlan lagi 2 tahun untuk tahapan profesi atau kepaniteraan klinik, dengan melakukan praktek klinik di Rumah Sakit dan Wahana Kesehatan lainnya dibawah bimbingan.

Selanjutnya, sebagai amanat undang-undang praktek kedokteran (UU no.20/2013) bahwa setiap dokter yang telah lulus kepaniteraan klinik, harus lulus ujian kompetensi yang menjadi prasyarat untuk dinyatakan selesai studi dan wisuda (pasal 36). Oleh karena beragamnya kualitas pendidikan dokter yang tersebar di seluruh Fakultas Kedokteran di Indonesia, tingkat kelulusan ujian kompetensi ini juga beragam. Secara nasional, sangat sedikit para calon dokter itu lulus hanya dalam satu kali ujian (first taker).

Banyak diantara calon dokter tersebut yang mesti mengulang lebih tiga kali hingga sepuluh kali ujian. Hal berdampak langsung terhadap masa studi mereka, hingga banyak diantara mereka yang membutuhkan tambahan waktu 1-2 tahun lagi sejak selesai kepaniteraan klinik sampai bisa diambil sumpah dokter dan diwisuda. Bahkan Prof.Djoko Santoso (Guru Besar FK Unair) dalam Opini di Media Indonesia 7 Juli 2018, menyampaikan bahwa ada 2.500 dokter muda yang telah menganggur akibat tersangkut dengan masalah ini.

Lalu, selesai wisuda bukan berarti seorang dokter bisa mencari kerja dan praktek mandiri. Keragaman kompetensi lulusan dokter dari berbagai institusi, kesetaraan dengan sistim internasional, serta amanat undang-undang mengharuskan dokter baru menjalankan internship di Rumah Sakit dan wahana kesehatan lainnya yang ditentukan pemerintah selama satu tahun (UU 20/2013 pasal 38).

Intersnhip memang dihitung sebagai masa kerja dan diberikan bantuan finansial, namun rencana pengembangan karir atau mendapatkan registrasi izin praktek mandiri baru bisa dilakukan oleh dokter-dokter muda ini setelah menjalani kewajiban intersnhipnya. Tambahan lagi, dengan makin banyaknya jumlah lulusan baru pada tahun-tahun yang akan datang maka masa tunggu internship akan semakin lama.

Proses pendidikan yang Panjang, penuh rintangan dan berliku maka minimal seorang dokter muda perlu waktu dari sejak awal studi, lulus ujian kompetensi, internship, selesai internship, semua waktu masa tunggu, dan mendapatkan STR defnitif minimal selama 8 tahun. Kembali ke pertanyaan semula, “Masih adakah harapan cerah bagi profesi dokter dan dokter muda itu?” Tentu jawabannya bisa “Ya” bisa “Tidak” bagaimana sikap dan peranan mahasiswa calon dokter itu, serta penataan sistem pendidikan kedokteran yang sedang berjalan ini oleh pemangku kepentingan.

Lalu “Apa yang bisa dilakukan, bagaiaman praktisi Pendidikan, pemegang jabatan di kebijakan, dan masyarakat khususnya orang tua para calon dokter menyikapi hal ini?” Bersambung artikel selanjutnya (Mengurai Benang Kusut Pendidikan Kedokteran). (*)

Penulis adalah Dosen Fakultas Kedokteran Universitas Andalas (FK-Unand) Padang, Ketua Program Pascasarjana Kesmas & Adm RS. Email: [email protected]

POLITIK – Sekretaris Jenderal (Sekjen) Partai Nasdem, Johnny G. Plate mengatakan Presiden Jokowi sudah mengantongi nama…

PIALA DUNIA 2018 – Babak semifinal Piala Dunia 2018 akan dimulai pada Rabu 11 Juli 2018 dini hari yang akan…

PASAMAN BARAT – Kepolisian Resor (Polres) Pasaman Barat (Pasbar) gelar upacara dalam rangka memperingati HUT…

PADANG – Anak di bawah umur yang terjaring dalam penertiban yang dilakukan Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) Kota…

(function(d, s, id) {
var js, fjs = d.getElementsByTagName(s)[0];
if (d.getElementById(id)) return;
js = d.createElement(s); js.id = id;
js.src = “http://connect.facebook.net/id_ID/sdk.js#xfbml=1&version=v2.8&appId=1208534375853801”;
fjs.parentNode.insertBefore(js, fjs);
}(document, ‘script’, ‘facebook-jssdk’));

[ad_2]

Sumber

Baca Selengkapnya
Click to comment

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Berita

Pemborosan dalam Reformasi Birokrasi – Fadli Zon

Fadli Zon Usul Provinsi Sumbar Ganti Nama Jadi Minangkabau

[ad_1]

Wakil Ketua Umum Partai Gerindra Fadli Zon menilai keputusan Presiden Jokowi yang menetapkan regulasi terkait sejumlah posisi wakil menteri aneh. Termasuk dengan hadirnya Perpres Nomor 62 Tahun 2021 yang mengatur soal Wamendikbudristek.

Fadli menilai upaya yang dilakukan Jokowi termasuk pemborosan. Apalagi jika regulasi tersebut demi mengakomodir pihak-pihak tertentu untuk mendapatkan jabatan.

“Kalau menurut saya agak aneh, ya. Banyak sekali wakil-wakil menteri padahal wakil-wakil menteri itu, kan, mestinya dibatasi hanya memang kementerian yang membutuhkan saja,” kata Fadli, Senin (2/8).

“Jumlah menteri, kan, sudah dibatasi dengan UU yaitu 34 menteri. Jadi wakil menteri itu, ya, bukan menteri. Jadi, ya, kalau menurut saya ini pemborosan di dalam perbaikan institusi kita atau reformasi birokrasi kita terlalu banyak,” tambahnya.

Dia lantas menyinggung soal keinginan Jokowi untuk melakukan perampingan birokrasi. Sehingga hadirnya regulasi yang mengatur soal posisi wakil menteri ini malah semakin tak konsisten.

“Dulu, kan, Pak Jokowi ingin ada perampingan, tapi ini semakin melebar. Ada wamen, ada stafsus, dan segala macam gitu, ya. Ini menurut saya jelas pemborosan uang negara. Kalau menurut saya ini lebih banyak pada akomodasi politik gitu, ya,” katanya.

Sejauh ini, posisi wamen di sejumlah kementerian dianggap tak perlu. Sebab ada pejabat eselon yang bisa membantu tugas-tugas seorang menteri.

“Ada menurut saya, kan, ada dirjen, ada direktur, dan sebagainya. Perangkat begitu besar jadi mestinya bagaimana institusi ini dibuat benar gitu, dibuat rapi, dan benar,” ujarnya.

Bagi Fadli, keputusan untuk mengakomodir pihak-pihak tertentu untuk mendapatkan jabatan bisa merusak birokrasi yang ada di Indonesia.

“Itulah kesan yang muncul di masyarakat dan itu menurut saya akan merusak birokrasi, merusak reformasi birokrasi, merusak tatanan yang sudah ada,” pungkasnya.

Saat ini sudah ada 14 wamen yang ada di kementerian Jokowi. Sementara itu, Jokowi sudah meneken perpres yang memutuskan ada wamen di 5 kementerian lain. Tapi, hingga saat ini, posisi wamen di 5 kementerian itu belum diisi.

Sumber

[ad_2]

Sumber

Baca Selengkapnya

Berita

Kita Tunggu Sampai Sore! – Fadli Zon

Sumbangan Rp 2T Akidio Tio Muara Kebohongan? Fadli Zon: Kita Tunggu Sampai Sore!

[ad_1]

Nama Akidi Tio belakangan menjadi topik perbincangan hangat masyarakat Republik Indonesia usai keluarga besar dan ahli warisnya mengklaim akan menyumbangkan dana senilai Rp 2 Triliun untuk membantu warga yang terdampak Covid-19 dan Pemberlakukan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM).

Pada awal isu tersebut berkembang, banyak tanggapan positif dari masyarakat mengingat nilai yang akan disumbangkan cukup fantastis. Namun belakangan, sejumlah pihak termasuk politisi Fadli Zon menduga dan menilai jika kabar tersebut hanya isapan jempol

Melansir akun twitter pribadinya @Fadlizon, politisi Partai Gerindra itu memposting sebuah unggahan yang isinya merujuk pada artikel Kompas dengan judul ‘Akidi Tio, Rp 2 Triliun, dan Pelecehan Akal Sehat Para Pejabat’ disertai caption yang cukup menohok.

“Hari masih pagi, mari kita tunggu sampai Senin sore nanti apakah masuk sumbangan Rp 2T. Kalau masuk berarti ini semacam mukjizat. Kalau ternyata bohong, bisa dikenakan pasal-pasal di UU No.1 tahun 1946,” cuit Fadli Zon, Senin (2/8/2021).

Keraguan Fadli akan kabar tersebut bukan tanpa alasan. Pasalnya, dari sumber artikel yang ditulis oleh Hamid Awaluddin yang Fadli cantumkan dalam cuitannya, disebutkan bahwa sosok Akidi Tio tidak memiliki jejak yang jelas sebagai seorang pengusaha.

Bahkan dalam sejumlah isu sebelumnya, terkait dugaan harta, janji investasi, dan bualan sumbangan menghebohkan dalam tulisan mantan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia dan Duta Besar Indonesia untuk Rusia dan Belarusia tersebut, seluruhnya bermuara pada kebohongan.

Suarapakar.com - Sumbangan Rp 2T Akidi Tio

Meski tulisan artikel itu masih sebatas opini, namun sangat layak dipertanyakan apakah Akidi Tio memang memiliki kekayaan fantastis sebanyak itu sehingga mampu menyumbangkan dana senilai Rp 2 Triliun untuk bantuan PPKM?

Senada namun tak sama dengan Fadli Zon, Menkopolhukam Mahfud MD meeminta semua pihak untuk menanggapi kabar tersebut dengan positif dan berharap dapat terealisasi.

“Ini perspektif dari Hamid Awaluddin ttg sumbangan Rp 2 T dari Akidi Tio. Bagus, agar kita tunggu realisasinya dgn rasional,” tulis Mahfud di Twitter, Senin (2/8/2021).

Namun demikian, ia juga memberikan pengakuan jika sebelumnya pernah membuat tulisan terkait pihak yang meminta fasilitas dari Negara untuk mencari harta karun yang nantinya akan disumbangkan kembali ke Negara. Adapun pada faktanya, kabar tersebut tak dapat di validasi.

“Sy jg prnh menulis ada orng2 yg minta difasilitasi utk menggali harta karun dll yg akan disumbangkan ke negara. Tp tak bs divalidasi,” beber Mahfud lagi.

Sebelumnya, keluarga dan ahli waris Akidi Tio disebutkan akan menyumbang Rp 2 triliun untuk penanganan COVID. Sumbangan itu sendiri telah diterima secara simbolis oleh Kapolda Sumatera Selatan, Irjen Pol Eko Indra Heri pada Senin (26/7/2021).

Kabarnya uang sumbangan senilai Rp 2 Triliun itu akan masuk pada Senin (2/8/2021). Namun hingga berita ini diturunkan, belum ada klarifikasi baik dari Polda Sumsel maupun pihak keluarga Akidi Tio.

Sumber

[ad_2]

Sumber

Baca Selengkapnya

Berita

Fadli Zon Koreksi Baliho Puan Maharani, Disebut Tidak Sesuai dengan KBBI – Fadli Zon

Fadli Zon Koreksi Baliho Puan Maharani, Disebut Tidak Sesuai dengan KBBI

[ad_1]

Politikus Partai Gerindra Fadli Zon memberikan koreksi terhadap baliho Ketua DPR RI Puan Maharani yang bertebaran di berbagai penjuru Indonesia.

Fadli mengoreksi penulisan diksi yang terdapat dalam narasi di baliho Puan yang menurutnya terdapat kesalahan.

“Mari gunakan bahasa Indonesia yg baik dan benar apalagi dlm bentuk baliho besar yg terpampang ke seantero negeri,” kata Fadli dalam cuitan di Twitter, Senin, 2 Agustus 2021.

Adapun Fadli memberikan koreksi terhadap penulisan kata ‘kebhinnekaan’ yang menurutnya tidak sesuai dengan Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI).

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) yg benar itu ‘kebinekaan’ bukan ‘kebhinnekaan’. Tapi kelihatannya semua baliho sdh dipajang. Sekedar koreksi,” tulis Fadli.

Lebih lanjut ia menjelaskan makna dari ‘Kebinekaan’ sesuai dengan koreksinya terhadap baliho Puan Maharani.

“‘Kebinekaan’ artinya keberagaman, berbeda-beda. Harusnya bukan keberagaman (perbedaan) yg ditonjolkan, tp persatuan dlm keberagaman itu,” lanjutnya.

“Unity in diversity, ‘Bhinneka Tunggal Ika’ dlm serat ‘Kakawin Sutasoma’ karya Mpu Tantular. Jd jgn kita kepakkan sayap perbedaan, tapi persatuan.” jelasnya.

Seperti diketahui, baliho-baliho raksasa Puan Maharani bertebaran di berbagai penjuru Indonesia beberapa waktu belakangan dan kini semakin bertambah jumlahnya.

Berkaitan itu, pihak PDIP sebelumnya sudah mengungkapkan alasan baliho dan billboard Puan dipasang di berbagai tempat di Indonesia.

Menurut Anggota DPR RI Fraksi PDIP, Hendrawan mengatakan bahwa pemasangan baliho Puan adalah bentuk kegembiraan karena putri Megawati Soekarnoputri itu adalah perempuan pertama yang memimpin DPR.

“Ini ekspresi kegembiraan karena Mbak PM (Puan Maharani) adalah perempuan pertama Ketua DPR dari 23 ketua DPR dalam sejarah RI. Tagline-nya macam-macam. Ada yang berkaitan dengan imbauan perkuatan gotong royong menghadapi pandemi, penguatan semangat kebangsaan, dan dorongan optimisme menghadapi masa depan,” ujar Hendrawan.

Sumber

[ad_2]

Sumber

Baca Selengkapnya

Populer